Tuhan Yesus mengakhiri pengajarannya mengenai akhir zaman dan kedatangan Kerajaan Sorga dengan menggunakan empat “perumpamaan adven”. Perumpamaan talenta adalah salah satu dari keempat perumpamaan tersebut.
Kisah tersebut bertutur mengenai Tuan yang menitipkan talentanya kepada ketiga hambanya sebelum berangkat menuju sebuah kota yang jauh. Sebuah talenta, tidak sama dengan arti yang umum dimengerti hari ini, adalah mata uang yang bernilai amat besar (kira-kira sebesar gaji seorang pekerja selama lima belas tahun). Kisah ini berakhir dengan kedatangan sang Tuan yang akhirnya memberikan hukuman kepada hamba yang dipercayai satu talenta tersebut, dikarenakan hamba tersebut menguburkan talentanya. Sementara kedua hamba yang lain, meskipun berbeda hasil, namun diberikan penghargaan yang sama oleh sang Tuan.
Dapat dilihat dari hadiah yang diberikan oleh Tuan ini kepada hambanya, bahwa Tuan ini bukanlah Tuan yang jahat, namun murah hati. Seorang hamba yang mengerjakan apa yang dipercayakan tuannya adalah suatu tindakan yang biasa, malah sebuah kewajiban. Namun sang Tuan memberikan hamba tersebut beroleh dalam kebahagiaan Tuannya – padahal hamba-hamba tersebut hanya mengerjakan apa yang sudah seharusnya. Sangat disayangkan, persepsi negatif dari hamba yang terakhir menyesatkan dirinya sendiri dan membuatnya tidak bisa melihat kebaikan dari Tuannya.
Diusik pandangannya sendiri bahwa Tuannya adalah seorang yang jahat, maka ia menjadi takut talenta tersebut dituntut daripadanya. Akhirnya ia menguburkan talentanya. Dimana pada saat itu tindakan menguburkan talenta merupakan tindakan yang dianggap bijaksana, karena apabila talenta tersebut hilang itu bukan lagi tanggung-jawab sang pengubur. Namun, tindakan karena ketakutan tanpa dasar tersebut, akhirnya membawa sang Tuan memutuskan hubungan dengan hamba terakhir yang jahat itu.
Renungan bagi Guru
Suatu hari bapak reformator gereja – Martin Luther, sedang mencangkuli kebunnya. Seorang kawannya datang dan bertanya, “apa yang akan kamu lakukan apabila kamu tahu bahwa Kristus akan datang hari ini?” Luther diduga menjawab, “saya akan terus mencangkul.”
Kisah sederhana ini mungkin membuyarkan banyak pandangan orang yang cenderung terlalu serius dalam menghadapi kedatangan Kristus yang kedua kalinya. Memang mengerjakan talenta kita seringkali diidentifikasikan dengan menguras tenaga habis-habisan untuk melakukan apa yang besar bagi kemuliaan Tuhan, namun kisah ini ingin membongkar pandangan umum bahwa sebuah kegiatan mencangkul halaman bukanlah sebuah usaha untuk mengerjakan talenta kita – dan bahkan memuliakan nama Tuhan!
Perumpamaan ini senantiasa mengingatkan kita untuk tidak berfokus pada melakukan hal-hal yang “besar” saja, namun setiap hal yang “kecil” pun sebenarnya merupakan ekspresi dari kesetiaan dan tanggung jawab kita terhadap apa yang telah diberikan Tuhan. Mengubur talenta, dengan alasan apapun, adalah tindakan yang tidak dapat diterima oleh sang Tuan, dan berujung kepada hukuman yang keras bagi mereka yang tidak bertanggungjawab.
Tugas kita adalah mengerjakan bagian yang Tuhan percayakan untuk kita kerjakan, dengan setia dan maksimal. Siapa yang tahu, ketika kita mengerjakan pelayanan sekolah minggu ini dengan sungguh-sungguh, Tuhan Yesus datang untuk kedua kalinya dan Ia berkata: “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia.” Apakah kita sudah mempersiapkan bahan mengajar kita dengan baik dan maksimal? Siapkah kita bertanggung jawab kepada Allah atas tugas yang diberikan kepada kita? Selamat mengajar!
Ini adalah tugas Didaktik Metodik yang berupa renungan untuk guru sekolah minggu
Leave a comment